Pages

Jumat, 11 April 2014

Di Ruang Rindu

Di Ruang Rindu
Terkisah. . .
Setelah Rasululloh wafat, shohabat Bilal bin Abi Rabah berbulat tekad untuk murobathah fii sabilillah (berjihad di tapal batas daerah kaum muslimin). Itu berarti beliau tak akan mengumandangkan adzan lagi. Hal ini beliau pertegas dengan mengatakan, "Sungguh aku tak akan mengumandangkan adzan untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah."

 
Mengetahui niatan Bilal, kholifah Abu Bakar memanggil dan membujuknya,
 "Bilal, urungkanlah niatmu dan tetaplah menjadi muadzin kami," rayu Abu Bakar.

"Kholifah, aku sangat menghormatimu karena engkau telah memerdekakanku. Namun, jika engkau memerdekakanku agar aku menjadi milikmu, lakukan apa yang engkau suka. Dan jika engkau memerdekakanku karena Allah, biarkanlah aku pergi," kata Bilal.

" Demi mendengarnya, sang kholifah tak sanggup menghalangi niatan Bilal, "aku memerdekakanmu karena Allah, wahai Bilal."

" Bilal pun pergi ke Syam menjadi mujahid dan siap sedia untuk berjihad. Beliau terus berjihad sampai tampuk kekhilafahan berpindah ke pangkuan Umar bin Khottob. Dan selama itu pula Bilal tak pernah mengumandangkan adzan.

Hingga pada suatu hari, Umar mengunjungi Syam. Selayaknya seorang pemimpin, banyak laporan, masukan juga permintaan kepada beliau. Salah satunya, agar beliau mau membujuk Bilal mengumandangkan adzan.

Karena Umar juga teramat rindu, beliau segera memanggil Bilal dan membujuknya. Di awal, Bilal berusaha menolak. Namun karena Umar terus mendesak dan memaksa, akhirnya Bilal takluk juga.

Saat waktu sholat tiba, Bilal naik dan mengumandangkan adzan. Begitu lantunan adzan menggema, bayang-bayang Rasululloh seolah hadir di tengah-tengah para shohabat. Kenangan-kenangan masa lalu mengantarkan mereka ke ruang rindu. Rindu akan sosok yang teramat spesial. Tak terasa air mata pun menetes dari pelupuk mata. Menetes dan terus menetes hingga orang yang tak pernah bertemu Rasululloh pun terbawa ke ruang rindu.. dan ikut menangis. Mereka menangis seakan-akan mereka tidak pernah menangis sebelumnya, selamanya. (Lihat : siyar a'laamin nubalaa')

💭Wahai saudaraku , bagaimana dengan dirimu ? Tidakkah dirimu ingin masuk ke ruang rindu? Rindu akan sosok yang teramat spesial? Rindu akan sosok yang sangat merindukanmu hingga beliau harus berjuang mengendapkannya?

Imam muslim meriwayatkan sebuah hadits dari shohabat Abu Huroiroh. Saat itu beliau mendatangi sebuah kuburan. Beliau berdoa, "ASSALAMUALAIKUM DAARA QOUMIN MU'MININ. WA INNA INSYA ALLAH BIKUM LAAHIQUN ( Kesejahteraan atas kalian, penghuni kampung kaum mu'minin. Dan insya Allah kami akan segera menyusul kalian."

Kemudian Rasul mengungkapkan rasa, "Sungguh aku sangat rindu bertemu ikhwan-ikhwanku."
Para sahabat bertanya, "Bukankah kami ikhwan-ikhwanmu, duhai Rasululloh."
"Bukan. Kalian adalah para sahabatku. Ikhwan-ikhwanku adalah umatku yang datang setelah kita," jelas Rasululloh.
"Lalu, bagaimana cara engkau mengetahui umatmu yang datang setelahmu, ya Rasululloh?" tanya sahabat lagi.
"Bagaimana menurut kalian jika seseorang memiliki kuda ghurrah (berwarna putih keningnya),  muhajjalah (berwarna putih keempat kakinya) berada dalam kerumunan kuda yang berwarna hitam legam, bukankah dia akan tahu kuda miliknya"
"Tentu, wahai Rasululloh."
"Begitulah aku mengetahui ikhwan-ikhwanku. Mereka akan datang di hari kiamat, wajah, kedua tangan dan kedua kaki mereka memancarkan cahaya karena wudhu'. Dan aku setia menunggu mereka di telagaku."

Begitulah, saudaraku .... 

Beliau sangat merindukan kita. 
Tidakkah kita merindukan beliau? 
Bagaimana dengan wudhu kita? 
Bagaimana dengan sholat kita?

Tidakkah engkau merenungi awal mula diwajibkannya sholat. 

Anas bin Malik -sebagaimana dalam shohehain- menceritakannya kepada kita. Ringkas kata, beliau di-isro'-kan oleh Allah dari Masjidil haram menuju Masjidil aqsha. Dari Masjidil Aqsha beliau di-mi'roj-kan hingga ke sidrotul muntaha, terletak di langit ketujuh. Selama perjalanan beliau berjumpa dengan bapak dan saudara-saudara beliau dari kalangan para Nabi. Sungguh momen yang mengharukan. Sesampainya di sidrotul muntaha, Allah mewajibkan kepada beliau dan umatnya 50 sholat dalam sehari semalam.

Setelah mendapatkan titah, beliau hendak turun ke bumi. Ketika melewati langit keenam, buru-buru Nabi Musa bertanya, "Saudaraku, apa yang diwajibkan Rabb-mu atas umatmu?"
"50 sholat dalam sehari semalam," jawab Rasululloh.

"Kembalilah menemui Rabb-mu dan mintalah keringanan. Umatmu tak akan sanggup menjalankannya. Aku telah berpengalaman mengurusi bani isroil."

Seketika Rasululloh teringat kaumnya. Rasululloh merasa kasihan terhadap kaumnya. Beliau tak tega melihat kaumnya tak sanggup menunaikan kewajiban lalu mendapat adzab. Akhirnya beliau segera kembali menuju Rabb-nya, meminta keringanan.

Bayangkan, wahai saudaraku, jika engkau harus meminta dispensasi untuk saudara engkau kepada atasan atau yang semisal. Ada rasa malu, sungkan, takut yang harus engkau endapkan, bukan?

Lalu, bagaimana jadinya jika engkau meminta kepada Sang Penguasa alam semesta. Dzat yang benar-benar mampu memegang tangan kanan engkau, lalu memotong urat nadi jantung engkau .

Namun beliau endapkan semua rasa itu dan memberanikan diri menghadap Rabbul 'Alamin. Lebih daripada itu, beliau lakukan sebanyak sembilan kali. 

Duh.. betapa banyak dari kita yang tak menyadarinya. Betapa banyak pula dari kita yang tak mensyukurinya.

Ya Allah, sampaikanlah permintaan maaf kami kepada Rasululloh...

Semuanya demi kita, wahai saudaraku. Semuanya demi umatnya. Sungguh benar apa yang Allah firmankan, " telah datang Rasul dari jenis kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan untuk kalian, amat belas kasihan dan penyayang terhadap kaum mukminin."

Memang beliau pantas disifati dengan yang demikian. Shohabat Abdulloh bin Amer bin Al Ash mengkisahkan -sebagaimana dalam shoheh muslim-,

Suatu hari, Nabi membaca firman Allah ta'ala tentang doa Nabi Ibrohim, "Rabb-ku, sungguh berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak orang. Barangsiapa diantara mereka yang mengikutiku, maka dia termasuk golonganku. Dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka sungguh Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Beliau juga teringat firman Allah tentang doa Nabi Isa, "jika Engkau mengadzab mereka, maka mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, memang Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

Beliau pun teringat umatnya. Berat dirasa olehnya penderitaan umatnya, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan untuk umatnya, amat belas kasihan lagi penyayang kepada umatnya. Tak terasa beliau meneteskan air mata seraya menengadahkan kedua tangan ke langit, "ya Allah, umatku.. umatku.. "

Beliau menangis, akhi. Beliau menangis demi umatnya, demi kita. Tidakkah kita rindu kepada beliau Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam ?

Bukankah dahulu kita tersesat, lalu Allah beri hidayah dengan sebab sunnah Rasul? Bukankah kita dahulu selalu merasa miskin, kemudian Allah berikan sifat qona'ah dengan kedatangan sunah Rasul? Bukankah kita dahulu bermusuhan lalu Allah rajut tali ukhuwah dengan kehadiran sunnah Rasul?

Tidakkah kita ridho semua orang pulang membawa dunia, dan kita pulang membawa Rasululloh ? Wallahi.. kita lebih ridho sunnah Rasul ketimbang dunia dan seisinya.
Al Imam At Tirmidzi berkata mengenai kitabnya "sunan tirmidzi", "barangsiapa yang memiliki kitab ini dirumahnya, seakan-akan Nabi berbicara di rumahnya." (Tadzkirotul huffadh)

Bagaimana dengan kita?? Sudahkah memiliki shoheh bukhori, shoheh muslim ataupun kitab induk hadits lainnya? Atau minimalnya, sudahkah kita menghapal Arba'in Nawawi ??

Semoga di ruang rindu kita bertemu Rasululloh, sebelum nantinya kita bertemu di telaganya dan menjadi tetangga beliau di Firdaus Al A'la. Amin.
Wallahu a'lam.



Puisi dan Cerita Islami Terbaik

1 komentar:

Terima kasih banyak sudah mau memberikan komentar