Pages

Jumat, 24 April 2015

Nilai Sebuah Keikhlasan (pelajaran kisah nyata)

Ada dua sahabat yang terpisah cukup lama sebutlah namanya Ahmad dan Zaenal. Ahmad ini terkenal dengan sosok pribai yang pintar sekali. Cerdas. Tapi dikisahkan kurang beruntung secara ekonomi. Sedangkan Zaenal adalah sahabat yang biasa-biasa saja namun keadaan orang tuanya mendukung karir dan masa depan Zaenal.

Setelah terpisah cukup lama, keduanya bertemu. Bertemu di tempat yang istimewa; di koridor wudhu, koridor toilet sebuah masjid megah dengan arsitektur yang cantik, yg memiliki view pegunungan dengan kebun teh yg terhampar hijau di bawahnya. Sungguh indah mempesona.‎
 
Adalah Zaenal, sudah menjelma menjadi seorang manager kelas menengah. Necis dan Perlente penampilannya . Tapi tetap menjaga kesalehannya.

Ia punya kebiasaan. Setiap keluar kota, ia selalu sempatkan singgah di masjid di kota yang ia singgahi. Untuk memperbaharui wudhu dan sujud syukur. Syukur-syukur masih dapat waktu yang diperbolehkan untuk shalat sunnah, maka ia shalat sunnah juga sebagai tambahan.

Seperti biasa, ia tiba di Puncak Pas, Bogor. Ia mencari masjid. Ia pinggirkan mobilnya, dan bergegas masuk ke masjid yang ia temukan.

Di sanalah ia menemukan Ahmad. Cukup terperangah Zaenal ini. Ia tahu sahabatnya ini meski berasal dari keluarga yang tak punya, tapi pintarnya minta ampun.

Zaenal tidak menyangka bila berpuluh tahun kemudian ia menemukan Ahmad sebagai merbot masjid..!‎

Ya ! . Zaenal melihat Ahmad sebagai sosok merbot Masjid.

“ Maaf ... ” katanya Zaenal memberanikan diri menegor sang merbot. 

“ Apakah Kamu Ahmad kan? Ahmad kawan SMP saya dulu? ”. Yang ditegor tidak kalah mengenali. 

" Oh iya . Masya Allah , apakah ini Zaenal ? "  Lalu keduanya berpelukan dengan penuh haru.
“Keren sekali Kamu ya Mas Zaenal … ”. Demikian tegur Ahmad sambil memperhatikan penampilan Zaenal dari ujung rambut sampai bawah kaki .

Zaenal terlihat masih dalam keadaan memakai dasi. Lengan yg digulungnya untuk persiapan wudhu, menyebabkan jam bermerknya terlihat oleh Ahmad. 

“Ah, biasa saja…”. Sahut Zaenal dengan senyum merasa bangga . 

Zaenal menaruh iba. Ahmad dilihatnya sedang memegang kain pel. Khas merbot sekali. Celana digulung, dan peci 8 didongakkan sehingga jidatnya yg lebar  terlihat dengan jelas.

“Mad… Ini kartu nama saya…”.

Ahmad melihat. 

“ Masya Allah Manager Area…. Wuah, bener bener keren dan hebat kamu mas zaenal . sukses hidupnya "‎ . Kata Ahmad .

“Mad, nanti habis saya shalat, kita ngobrol ya. Maaf, kalau kamu berminat, di kantor saya ada pekerjaan yg lebih baik dari sekedar merbot di masjid ini. Maaf…”.

Ahmad hanya tersenyum. Ia hanya mengangguk saja . 

“Terima kasih ya… Nanti kita ngobrol. Selesaikan saja dulu shalatnya. Saya pun menyelesaikan pekerjaan bersih bersih dulu… Silahkan ya. Yang nyaman mas ”.

Sambil wudhu, Zaenal tidak habis pikir. Mengapa Ahmad kawan dekatnya dulu yang pintar, kemudian harus terlempar dari kehidupan normal. Ya, meskipun tidak ada yang salah dg pekerjaan sebagai merbot, tapi merbot… ah, pikirannya tidak mampu membenarkan. 

Zaenal menyesalkan kondisi negerinya ini yg tidak berpihak kepada orang orang yg sebenernya memiliki talenta dan kecerdasan, namun miskin.

Air wudhu membasahi wajahnya…

Sekali lagi Zaenal melewati Ahmad yg sedang bebersih. Andai saja Ahmad mengerjakan pekerjaannya ini di perkantoran, maka sebutannya bukan merbot. Melainkan “office boy”.

Tanpa sadar, ada yang shalat di belakang Zaenal. Sama sama shalat sunnah agaknya. 

Ya, Zaenal sudah shalat fardhu di masjid sebelumnya. 

Zaenal sempat melirik. “Barangkali ini kawannya Ahmad…”, gumamnya.

 Zaenal menyelesaikan doanya secara singkat. Ia ingin segera bicara dengan Ahmad.

“Pak,” tiba tiba anak muda yang shalat di belakangnya menegur.

“Iya Mas..?”

 “Pak, Bapak kenal emangnya sama bapak Insinyur Haji Ahmad…?”

 “Insinyur Haji Ahmad…?”

 “Ya, insinyur Haji Ahmad…”

 “Insinyur Haji Ahmad yang mana…?”

 “Itu lho , yang barusan ngobrol sama Bapak tadi …”

 “Oh… Ahmad… Iya. Kenal. Kawan saya dulu di SMP. Emangnya udah haji dia?”

“Dari dulu udah haji Pak. Dari sebelum beliau bangun ini masjid…”.

Kalimat itu begitu datar. Tapi cukup menampar hatinya Zaenal… Dari dulu sudah haji… Dari sebelum beliau bangun masjid ini…

Anak muda ini kemudian menambahkan, 

“Beliau orang hebat Pak. Tawadhu’. Saya lah yg merbot asli masjid ini. Saya karyawannya beliau. Beliau yang bangun masjid ini Pak. Di atas tanah wakafnya sendiri. Beliau bangun sendiri masjid indah ini, sebagai masjid transit mereka yg mau shalat. Bapak lihat mall megah di bawah sana? Juga hotel indah di seberangnya? … Itu semua milik beliau... Tapi beliau lebih suka menghabiskan waktunya di sini. Bahkan salah satu kesukaannya, aneh. Yaitu senangnya menggantikan posisi saya. Karena suara saya bagus, kadang saya disuruh mengaji saja dan azan…”.

Wuah, entahlah apa yg ada di hati dan di pikiran Zaenal …‎

Bagaimana menurut kita ?

Jika Ahmad itu adalah kita, mungkin begitu ketemu kawan lama yg sedang melihat kita membersihkan toilet, segera kita beritahu posisi kita siapa yg sebenernya. 

Dan jika kemudian kawan lama kita ini menyangka kita merbot masjid,  maka kita akan menyangkal dan kemudian menjelaskan secara detail begini dan begitu. Sehingga tahulah kawan kita bahwa kita inilah pewakaf dan yg membangun masjid ini.

Tapi kita bukan Haji Ahmad. Dan Haji Ahmad bukannya kita. Ia selamat dari rusaknya nilai amal, sebab ia cool saja. Tenang saja. Adem. Haji Ahmad merasa tidak perlu menjelaskan apa apa. Dan kemudian Allah yg memberitahu siapa dia sebenarnya...‎

"Al mukhlishu, man yaktumu hasanaatihi kamaa yaktumu sayyi-aatihi" 

(Orang yang ikhlas itu adalah org yg menyembunyikan kebaikan kebaikannya, seperti ia menyembunyikan keburukan keburukan nya)

(Ya'qub rahimaHullah, dlm kitab Tazkiyatun Nafs)

Masya Alloh.......

(Kisah nyata dari Masjid di Puncak, Bogor)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih banyak sudah mau memberikan komentar